Site icon Dewi Setyowati

Aya Aoyagi – Gambaran Antusiasme Warga Jepang terhadap Gamelan

“It’s an ordinary to Indonesian society, but for me it’s beautiful, so natural, and I am very comfortable in listening gamelan”.

Begitu ujar Aya Aoyagi – san, seorang warga Jepang yang sangat menyukai musik gamelan, saat saya menanyakan bagaimana pendapatnya tentang musik gamelan Jawa. Seni karawitan Jawa memang sangat disukai oleh sebagian besar orang Jepang. Saya bersyukur bisa mengenal Aya dan punya kesempatan untuk diskusi dengannya tentang ketertarikan dan antusiasmenya bermain gamelan. Sore itu kami pun ngobrol santai di Bentara Budaya Jakarta, sebelum latihan dimulai.

Aya Aoyagi hijrah ke Indonesia sekitar 2 tahun yang lalu, mengikuti suaminya yang bekerja di salah satu perusahaan Jepang di Jakarta.  Anak perempuannya turut serta, sedangkan anak laki-lakinya tetap berada di Jepang karena masih kuliah di Tokyo. Pada tahun pertama berada di Jakarta, kesibukan Aya hanya mengurus keluarga dan seluruh kegiatan anaknya yang bersekolah di salah satu SMA internasional. Hingga akhirnya kesibukan bertambah dengan menjadi Head of Community of Japanese Students di sekolah anaknya. Di sela aktifitasnya tersebut, ia juga belajar Bahasa Indonesia untuk keperluan percakapan sehari-hari, terutama percakapan untuk bepergian naik kendaraan umum.  Aktifitas Aya yang lain adalah mengajar bahasa  Jepang di salah satu institusi bisnis di Jakarta yang sering memberangkatkan stafnya ke Jepang, dan juga memperkenalkan budaya Jepang kepada mereka. Selain itu ia juga menjadi volunteer teacher di salah satu SMA di daerah Pondok Indah Jakarta Selatan. Satu lagi aktifitasnya adalah menjadi volunteer di salah satu majalah (free magazine) sebagai pelaksana untuk event-event tertentu. Lumayan sibuk juga ya.

Pertama kali Aya mendengar alunan gamelan adalah saat hadir di salah satu pameran di Jakarta Convention Center (JCC). Di Jepang, Aya justru belum pernah mendengar musik tradisional jawa ini sama sekali.  Saat itu Aya sudah terkesan dengan ritme musik gamelan yang membawa ketenangan dan kelembutan. Ketertarikannya dengan gamelan baru muncul setelah 1 tahun di Jakarta. Bermula dari grup komunitas warga Jepang yang ada di Jakarta yang ternyata juga punya grup gamelan bernama grup Sakura. Grup Sakura berlatih rutin setiap Sabtu di salah satu  sanggar tari dan gamelan di Jakarta Selatan, Sanggar Puspatarini. Aya pun bergabung dengan grup Sakura dan menjadi salah satu anggota aktifnya.

Terbentuknya grup Sakura ini cukup unik juga. Salah satu anggota komunitas Jepang kebetulan ada yang tinggal di Apartemen Bumi Mas Jakarta Selatan yang berseberangan dengan sanggar tersebut.  Setiap hari Kamis malam, dari apartemennya tidak sengaja ia mendengar alunan musik gamelan.  Di sanggar ini setiap Kamis malam memang ada komunitas yang mengadakan latihan wayang kulit. Para dalang se-Jakarta Selatan berlatih wayang secara bergantian. Tentu saja diiringi dengan gamelan, lengkap dengan para sindennya. Dari situlah akhirnya komunitas warga Jepang tersebut berhasil mendapat kelas khusus untuk latihan bermain gamelan.

Aya cukup aktif bermain gamelan seminggu sekali setiap Sabtu pagi. Bersama teman-temannya sekitar 10 orang, mereka adalah batch ke-5 di kelas gamelan grup Sakura. Anggota batch sebelumnya sebagian besar sudah kembali ke Jepang. Grup mereka diketuai oleh Takuma-san. Pelatih mereka, Pak Basir, adalah seorang guru karawitan Jawa yang sangat aktif berkesenian. Pak Basir tidak hanya mengajar mereka, namun juga di beberapa kelas karawitan untuk anak sekolah.  Meskipun terkadang tidak semua anggota grup bisa hadir latihan mereka tetap semangat. Ada kalanya mereka membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil dan anak-anak itu pun ikut berlatih. Salut!

Foto seusai berlatih

Saya sendiri enggak nyangka bisa mengenal Aya.  Waktu itu saya ikut workshop gamelan yang  diadakan salah satu komunitas gamelan di Jakarta, Samurti Andaru Laras dan kebetulan bertempat di sanggar di mana Aya berlatih. Aya dan beberapa orang temannya datang karena diajak oleh Pak Basir yang melatih sesi workshop. Kami latihan bersama. Seusai latihan, kami pun ngobrol santai. Singkat cerita saya dan dua orang teman lainnya yang saat itu memang sedang mencari komunitas gamelan akhirnya diizinkan untuk bergabung ke kelas Sakura. Setiap sabtu pun saya ikut latihan di sanggar. Kami memainkan gending Jawa bentuk lancaran atau ladrang yang sederhana karena ada sebagian pemain masih pemula. Aya cukup fasih memainkan bonang. Sepertinya ia memang mudah sekali memahami nada-nada dan notasi. Barangkali kemampuannya bermain piano juga sedikit banyak berpengaruh dalam merasai melodi gamelan. Saat baru pertama kali memegang alat musik gamelan, Aya bermain kenong. Sesekali Aya bermain saron juga. Bergantian saat salah satu dari kami berlatih memainkan bonang. Biarpun latihan tidak selalu dengan formasi lengkap, namun lagu yang kami mainkan tetap dapat dinikmati.

Dalam sesi latihan, Aya selalu antusias. Meski tak jarang kena omelan Pak Basir karena lupa apa yang sudah diajarkan sebelumnya. Aya pribadi yang lucu. Kalau sedang dimarahi Pak Basir, ia hanya mengangguk-anggukkan kepala dan berkata “haik! haik!” sambil tertawa. Kami pun tidak bisa menahan untuk tidak ikut tertawa.

“He just knows the number. Ni san go, ni san go!” tutur Aya saat saya menanyakan apakah Pak Basir bisa berbahasa Jepang. Dengan logat lucunya, ia menirukan Pak Basir saat membacakan notasi nada ni san go 2 3 5, 2 3 5. Saya pun enggak berhenti tertawa. Lucu banget pokoknya. Pak Basir selalu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia, namun tidak menjadi penghalang bagi Aya dan teman-teman Jepang karena mereka rata-rata bisa berbahasa Indonesia walaupun untuk percakapan sederhana. Ada kalanya saya yang harus menerjemahkan istilah tertentu yang tidak diketahuinya terutama berkaitan dengan nama lagu, jenis gending, dan sebagainya. Tentunya kami ngobrol dengan bahasa Inggris, karena saya tidak bisa berbahasa Jepang.

 Aya bersama Pak Basir

Bersama grup terdahulu, Aya sudah beberapa kali pentas gamelan. Satu kali pentas saat ada pertunjukan wayang di sanggar Puspatarini, menampilkan gending pembuka. Kemudian beberapa kali pementasan di anjungan Yogyakarta, Taman Mini Indonesia Indah saat ada acara pelajar di sana. Keren ya? Dan mereka juga sudah banyak memainkan berbagai macam lagu lancaran dan ladrang.

Pentas di Sanggar Puspatarini
Seusai pentas di TMII

Bagi Aya, musik gamelan sangat indah. Dalam perspektifnya, memainkan dan mendengarkannya bisa sebagai sarana ‘healing’ karena irama yang tercipta sangat menenangkan. Menurutnya, bagi masyarakat Indonesia musik gamelan mungkin biasa saja. Namun baginya gamelan sangat menarik, musik yang sangat natural dan membuat nyaman bagi yang mendengarkan. Menurutnya lagi, setiap orang membutuhkan musik. Dan dalam pandangannya, musik tradisional lain biasanya membosankan, namun tidak untuk gamelan. Tempo gamelan yang kadang cepat kadang lambat, kadang nada tinggi kadang nada rendah, inilah yang membuat gamelan terasa nyaman didengarkan.

“After playing gamelan, I understand a little bit when Pak Basir said ‘enak’ or ‘tidak enak’” kata Aya antusias. Memang Pak Basir sering menilai permainan gamelan dengan istilah tersebut. Ini lebih kepada rasa. Karena menikmati gamelan adalah dengan rasa. Akan terasa enak saat iramanya padu, bersatu dan dan kekompakannya terjaga dari awal sampai akhir. Begitu pula sebaliknya, saat ada satu atau beberapa alat yang kurang bisa menjaga irama, tidak mengikuti kendang sebagai pengendali, maka akan terdengar tidak enak. Aya juga menambahkan bahwa gamelan adalah warisan budaya yang semestinya terus dilestarikan.

Sebagai warga Indonesia, tentunya saya bangga dengan adanya warga bangsa lain yang sangat suka bermain gamelan. Karena antusiasmenya, saya juga beberapa kali mengajak Aya berlatih gamelan bersama komunitas Bentara Muda di Bentara Budaya Jakarta. Bahkan ia sangat antusias ingin tahu bagaimana caranya bisa menjadi pemain gamelan profesional. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya dalam obrolan kami. Antara lain mengapa gamelan ada di Solo dan Yogya, mengapa orang Jawa suka bermain gamelan. Lalu apakah ada kursus atau sekolah khusus untuk menjadi pelatih atau pemain gamelan profesional.

Saya dan Aya di Bentara Budaya Jakarta
Aya saat mencoba memainkan wayang

Nah, kita sebagai pemilik budaya ini, sudah seharusnya turut melestarikan dan menjaganya agar tidak punah tergerus kemajuan zaman. Semoga Aya Aoyagi dapat menginspirasi kita semua dalam upaya terus menghidupkan budaya kita sendiri terutama gamelan.  Saat ini Aya sudah kembali ke Jepang, namun baru seminggu meninggalkan Indonesia ia berkata sudah rindu gamelan. Saya hanya bisa mengirimkan video-video latihan kami sebagai pengobat kerinduannya.

Otsukaresama deshita, Aya-san! Arigatou Gozaimasu. 🙂

Exit mobile version